Wednesday, August 24, 2016

Masih suka Hujan?

Mari kita bicara tentang hujan.
Sudah seberapa dalam kamu menyukai hujan?
Sudah suka wangi tanah basahnya?
Sudah suka bunyi setiap tetes airnya?
Sudah suka suasana mendung yang membuat kita nyaman untuk bergulung di dalam selimut, sibuk dengan dunia fantasi yang kita bangun dan segelas kopi hangat –kopi instan dua ribu-an atau kopi hitam premium yang per kilo harganya puluhan hingga ratusan ribu?
Tapi sudahkah kita tahan akan banjirnya yang mungkin nanti datang?
Sudahkah kita tahan dengan jadwal-jadwal pertemuan yang harus ditunda bahkan dibatalkan karena hujan yang datang tanpa permisi?
Atau sudahkah kita tahan saat tubuh basah kuyup diguyur hujan meninggalkan jaket baru yang harus dijemur baru bisa dipakai lagi atau alergi dingin yang membuat kulit gatal dan meruam merah?
Sudahkah sedalam itu?

Kita tidak akan berbicara tentang hujan. Tentang bagaimana proses terjadinya hujan. Jenis-jenis hujan. Dan segala macam tentang hujan. Kita akan membicarakan tentang sebuah novel yang menjadikan hujan sebagai salah satu momen penting di dalamnya. Ya. Hujan karya Tere Liye.

Novel ini berbicara tentang seorang perempuan bernama Lail. Di umurnya yang ke-21, ia justru harus berhadapan dengan seorang psikiater(begitu saya menyangka di awal cerita). Dari apa yang Tere liye gambarkan, Lail di umurnya yang ke-21 ini adalah perempuan yang tertekan, depresi dan sedih bukan kepalang. Kemudian pembacanya dibawa kembali ke masa di mana lail masih berusia 11 tahun.

Saat membaca novel ini ada dua hal yang sangat terasa kental sebagai latar suasananya. Yang pertama adalah futuristik, jelas sekali setting waktunya sendiri adalah ketika bumi menginjak tahunnya yang ke-2045. Di mana teknologi tercanggih bahkan sudah bisa mencetak pakaian sendiri. Di mana transaksi pembayaran, komunikasi sudah diselipkan dalam chip yang ada di pergelangan tangan kita atau di mana mobil terbang sudah tidak lagi hanya ada di novel fantasi Harry Potter. Yang kedua adalah suasana mendung, kelabu atau abu-abu bagaimanapun itu kamu menyebutnya. Suasana mood yang dibangun oleh Tere Liye untuk pembaca juga stagnan dari awal hingga akhir, hampa, sedih. Walau ada juga saat-saat di mana ada kejadian lucu ataupun menyenangkan pun membahagiakan bagi Lail dan Esok(Soke) namun perubahan emosinya terasa tidak begitu kentara untuk pembaca. Mari berbaik sangka, mungkin Tere Liye sedang mengajarkan kita untuk tidak terlalu bersenang-senang di dunia.

Novel ini tentang Lail yang menyukai hujan, yang entah bagaimana hampir setiap momen-momen penting dalam hidupnya selalu terjadi saat hujan. Entah itu momen bahagia maupun momen yang menyedihkan. Momen di mana ia kehilangan orang tuanya. Momen di mana ia akhirnya berhasil menjadi relawan. Momen di mana ia bertemu dengan Esok.

Seperti apa yang ditulis di cover bagian belakang, novel ini bercerita tentang persahabatan, tentang cinta, tentang melupakan, tentang perpisahan. Sehingga saya juga tidak menaruh ekspektasi yang tinggi saat membacanya. Pasti ini tentang dua orang yang entah bagaimana bertemu, kemudian menjadi sepasang sahabat sampai satu atau keduanya menyimpan rasa lebih, berpisah atau dipertemukan lagi di akhir cerita. Sangat mudah ditebak. Dan kalau bisa lebih tega lagi bisa juga dikatakan sangat teenlit. Tapi kata Pram kita harus adil bahkan sejak dalam pikiran. Makanya saya juga harus bilang, walau dengan alur cerita cheesy yang mudah ditebak, Tere Liye berhasil membuatnya tidak se-cheesy itu dan tidak se-teenlit itu.

Dengan materi novel berupa hal-hal terkait ke-gunung api-an, iklim, cuaca, ataupun imajinasi-imajinasi liar tentang bagaimana kehidupan bumi di tahun 2045 mendatang. Ditambah lagi dengan pesan-pesan tersirat pun tersurat yang terkandung di dalamnya.

Bagi saya, Hujan tidak hanya sebuah novel tentang Lail dan Esok. Bahkan saya bisa bilang saya kurang peduli dengan dua tokoh ini, walau garis besar novel ini menceritakan mereka. Beberapa kali saya baca novel saya selalu punya sensasi “delusi” akan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, terngiang akan bagaimana tindakan yang akan mereka lakukan jika ada di situasi-situasi kehidupan nyata untuk berminggu-minggu, walau tidak semua novel memeiliki efek yang sama. Saya mendapat sensasi itu kepada Mr. Darcy dari Pride and Prejudice, Torey Hayden saat saya membaca Sheila, Amiru saat saya membaca Ayah, Lintang saat saya membaca Laskar Pelangi, tapi sayangnya tidak untuk karakter Lail pun Esok saat saya membaca Hujan.

Novel ini justru memberikan pandangan tentang bagaimana kemudian kita seharusnya berdamai dengan masa lalu, berdamai dengan kehilangan. Karena kita sering susah membedakan antara benar-benar berdamai dengan segala apa yang terjadi di masa lalu, segala kenangan buruknya dengan yang hanya memendamnya selama tidak pernah bersinggungan dengan hal tersebut tidak peduli apakah itu suatu ketidaksengajaan untuk menghindari hal tesebut ataupun memang secara tidak langsung tidak pernah lagi bersinggungan dengan hal tersebut. The arts of letting go. Seni mengikhlaskan. Untuk bagian ini jujur, Tere Liye sukses memporak-porandakan benteng yang selama ini saya bangun dengan pertanyaan, “Apakah sudah berdamai?” yang jawabnya sudah jelas.

Novel ini juga menceritakan tentang bagaimana keegoisan manusia sungguh sangat bisa membunuh siapa saja. Bahkan bisa pula menjadi alat bunuh diri paling efektif secara perlahan. Hanya masalah waktu hingga keegoisan dapat membunuh siapa saja yang masih menyimpan rasa seperti ini di dalam hatinya.

Walau kurang peduli rasanya tidak adil pula jika saya tidak belajar apapun dari sosok Esok dan Lail, di mana cinta lagi-lagi bukanlah suatu hal yang harus ditunjukkan dengan kata ketika mereka berdua. Cinta itu soal aksi. Aksi untuk tidak sekedar menunjukkan bahwa perasaan itu ada tetapi juga bagaimana seharusnya aksi yang dilakukan dengan sebuah ketulusan dan keikhlasan.

Buku ini saya berikan 2 bintang saja untuk maknanya yang mendalam walau alur, karakter maupun pembangunan mood pembaca yang mungkin tidak cocok dengan “gaya” saya. Tapi untuk kamu yang butuh bacaan ringan, butuh bacaan untuk menemani perjalanan 5 jam macet di Jakarta di pagi dan malamnya, buku ini boleh jadi pilihan. Selamat menikmati titik hujan.




Karena ia tak sempurna,
Masihkah kamu menyukai hujan?






No comments:

Post a Comment