Thursday, February 8, 2018

Thoughts of PDA



Kayak yang saya bilangdi postingan sebelumnya, obrolan di umur 23 ini salah satunya nggak jauh-jauh dari tema pernikahan. Dari yang model nanya kapan nikah, dengan mode terhalus seperti kapan menyegerakan sampai yang mode kasar kayak kapan kawin.

Dan hal ini nggak tau kenapa juga ternyata makin kerasa nggak hanya di ruang-ruang obrolan tatap muka yang bahas-bahas soal pernikahan. Tetapi juga sampai ke ranah media sosial. Oiya, sebelum baca lebih lanjut, saya ingatkan bahwa tulisan ini saya tulis berdasarkan kacamata saya aja, jadi kalau misal nggak bisa diterima waktu tengah-tengah baca mending berhenti aja, dan cari bacaan lain yang mungkin akan menyenangkan hati kamu. Oke lanjut.
Akhir-akhir ini tema pernikahan ini kerasa makin dekat dengan saya. Ya bukan hal yang mengagetkan sih, karena orang-orang yang saya ikuti di media sosial juga orang-orang yang seumuran saya, paling tua juga tiga sampai empat tahun di atas saya, ini di luar seleb-seleb yang saya ikuti di media sosial ya. Dengan umur-umur usia nikah gini jadi wajar banget nggak sih kalo misal teman-teman kita yang kita ikuti di media sosial ini tadi juga mulai bergerak fase hidupnya dari fase melajang ke fase pernikahan. Dan fase itu semua terlihat semua di media sosial, ya gimana nggak ya, disukai atau tidak, diterima atau tidak banyak orang yang menjadikan media sosial sebagai sarana aktualisasi dirinya. Dari yang biasanya posting lagi nongkrong di kafe A sama temen-temennya, atau liburan ke X sama temen-temennya jadi yang tiba-tiba posting pre-wedding, wedding, pos-wedding sampai ke kehidupan sehari-hari setelah menikah macam bagaimana hikmah-hikmah dari mahligai pernikahannya dinarasikan dalam caption panjang sarat akan makna. Saya sejauh ini masih merasa biasa aja sih, paling ketawa-ketawa aja kalo misal liat temen yang dulu kelakuannya kayak apa lagi posting manis-manis sama bininya, tapi ya udah, buat saya posting macam itu lewat begitu saja, saya sebagai netijen hanya menjadi penonton yang urun “like” kalo nemu postingannya, atau ini karena saya nggak punya orientasi untuk nikah secepatnya kali ya, makanya liat pos manis-manis gitu juga masih lempeng-lempeng aja.

Terus beberapa waktu yang lalu waktu lagi ngumpul sama beberapa teman, kita gak sengaja sampai ke topik PDA waktu kami lagi ngobrol. Istilah PDA ini udah saya denger dari jaman SMP, nggak nyangka sekarang PDA jadi topik yang sering diperbincangkan di teman-teman saya hehe. PDA atau Public Display Affection punya artinya kurang lebih intinya mempertontonkan kemesraan di ranah publik, singkatnya pamer kemesraan.

Saya sendiri punya dua kelakuan yang tergolong PDA, sekali lagi menurut saya, kamu boleh sepakat, nggak juga gapapa, belum tentu ngubah pandangan saya juga.
·         Pertama, kalo The Married Couple (TMC) mulai posting kontak fisip di area-area yang sebenernya bisa bangeeet kalo nggak diupload atau dipamerkan ke ranah publik.
·         Kedua, kalo tadi secara fisik, karena kita mainnya sosmed, maka nggak mungkin kalo nggak ada PDA-PDA terselubung lewat verbal. Menurut saya, kalo TMC mulai poating macam panggilan-panggilan khusus gitu nggak perlu sih jadi konsumsi publik, toh tanpa itu pun followersnya udah pada tau kalo bininya adalah miliknya, moreover macam gombalan, rayuan, yang aduh udahlah, rasanya bikin saya pengen bilang “mending kalian pm”, tapi nggak tau kenapa, saya masih bisa sih tolerir pujian. Eh ini kamu yang baca bisa bedain kan mana pujian dan mana rayuan/gombalan?

Dari obrolan sama teman-teman memang ada beberapa yang saya sepakati ada ada juga yang tidak. Seperti misalnya, posting foto atau video lagi makan atau pergi bareng. Kalau menurut saya itu sama sekali bukan PDA. Posting foto anaknya dengan segala perkembangannya, dan ilmu-ilmu yang bisa diambil, apalagi itu, nggak ada PDA-PDAnya, jadi kalo sampe ada yang ngomong “ih postingannya si A masa tentang si B mulu” paling yaudah saya liatin aja, sambil nyinyirin dalam hati. Wkwkwk.

Gini ya, logikanya adalah, saat sebelumnya si A belum menikah, media sosial memang digunakan oleh si A, siapapun itu, untuk memposting hal-hal yang ada di dalam hidupnya, yang berkaitan dengan dirinya, jadi pertanyaannya, apa itu juga menjadi suatu hal yang aneh jika suatu saat si A baru menikah dan memposting sesuatu yang berkaitan dengan dirinya seumur hidup yang dalam kasus ini adalah bininya? Jadi kalau misal ada orang yang sebelum menikah hobi makan, ke mana-mana foodgram foto makanan, eh setelah menikah posting lagi makanan-makanan tapi sama bininya, ya itu bukan PDA lah, foodgram adalah habitnya dia di masa lampau sampai sekarang, kemudian ditemukan dengan orang baru yang mana adalah bininya dan ditemukan dengan kebiasannya itu. Selesai di situ. Menurut saya itu hal yang wajar, karena setiap orang punya tendensi buat menunjukkan apa-apa yang dia suka, ya kalau dalam kasus tadi berarti membagikan makanan dalam foto di Instagram (misal) dan bininya adalah hal yang disuka. Selesai di situ sih sebenernya. Ditambah kita idup di jaman yang kadang kuota aja rasnya bisa lebih murah dari pada harga cabe, karena kebutuhan untuk mainan media sosial emang setinggi itu, sarana untuk aktualisasi diri makin gampang diakses, kecenderungan untuk menunjukkan apa yang disukai juga makin tinggi. Tapi, ya ini cuma saya yang fakir ilmu dengan segala analogi keledai.

Karena saya yakin, untuk tidak menunjukkan kesukaan kita itu sulit nona dan tuan, ya coba aja dilihat lagi, apa kesukaan kita yang sering kita publikasikan saat ini, saat nanti tiba masanya giliran kita, saat hal-hal yang kita suka itu ada dalam satu bingkai kamera dan biasa dipublikaskan (di luar dua poin tadi yang saya sebutkan) kemudian bergabung dengan hal-hal yang berkaitan dengan bini kita nanti. Entah yang suka share nongki di mana, besok jadi posting sama bininya, yang suka masak besok jadi suka posting bekal buat bininya atau masakan sehari-hari. Mungkin kita juga bilang “entar captionku nggak yang menye-menye gitu”, mungkin juga pada saat itu kita juga ingin membagikan hikmah-hikmah dalam bentuk narasi-narasi panjang di caption yang lanjut di komentar, tapi ya mungkin juga nanti akan muncul juga orang-orang yang walaupun kita udah usaha buat posting sebiasa mungkin, kita tetap dibilang PDA. Well, the ugly truth is, we can’t please everyone, even a clown has bunch of people who have phobia of him.

Definisi-definisi soal PDA berdasarkan tadi jadi tak lebih dari sebuah kecemburuan saja untuk segera ingin ada di titik yang sama. Menurut saya, jika TMC belum melanggar dua hal yang tadi saya sebutkan, saya masih bisa terima. Lagi pula, kadang menurut saya, bukan mereka yang sudah biasa-biasa banget ini yang harus mengubah postingan hanya karena ada konten bermuatan bini-bininya, tetapi netijen budiman yang memang harus lebih bijak lagi dalam menghadapi postingan. Tetapi saya juga berpikir, ini salah satu efek dari pertemuan nilai baru dan nilai lama, dari sebuah kebiasaan yang dimasuki nilai baru. Awalnya pasti ada ketidak cocokan, tapi lama-lama juga bisa menyatu. Fakta dari salah satu teman yang tadinya belum menikah dengan segala kesehariannya, kemudian menikah dan punya rutinitas baru. Jadilah followers merasa bertumbukkan dengan nilai baru juga. Tapi tak apalah, kan kata Tan Malaka, terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk. Tetapi kalau masih tidak kuat, cukup unfollow saja. Selesai.



(mencoba) menjadi netijen budiman.
 

No comments:

Post a Comment