Matahari mulai beranjak dari singgasananya,
berjalan perlahan ke peraduannya. Lelah mungkin, seharian ini mengawasi manusia
dan kegiatannya yang membosankan. Sekarang ia merajuk pada bulan, minta
digantikan. Si Bulan berjanji akan muncul setelah maghrib. "Langit akan
kosong, dunia tidak akan lengkap, manusia manusia ini butuh cahaya" sergah
matahari. "ah! Santai sedikit. Aku tengah berdandan, nanti malam manusia
manusia ini harus melihat kecantikan dari Sang Dewi Malam" kata bulan
seraya menyapukan bedak di wajahnya. "ayolah, kau sudah cantik" rayu
matahari. "AH! KAU TAK TAU! AKU TIDAK BISA SEPERTIMU YANG SETIAP PAGI
KELUAR DARI TEMPATMU MENDENGKUR HANYA DENGAN DIKOKOKI AYAM TANPA PERSIAPAN
APAPUN!" "Aku..." "DIAM! AKU BELUM SELESAI! SEDANGKAN AKU,
AKU HARUS MEMBERI ALAS BEDAK UNTUK MENUTUPI PERMUKAAN KULITKU YANG TIDAK RATA!
KAU TAK TAU KAN!" nafas si Bulan masih naik turun. "oke, maaf... Aku
mau tidur" kata matahari seraya melanjutkan perjalanan ke tempat tidurnya
sambil berkata "ah sedang datang bulan mungkin"
Senyum menyembul dari bibir tipisku. Percakapan
Matahari dan Bulan itu memang hanya ditemukan di otak seorang penulis buku
dongeng anak-anak dan terkesan tidak masuk akal, tapi mereka hidup di
sana, di otakku yang mulai sulit mengingat di mana aku menaruh gula, apakah di
rak sebelah kanan atau rak sebelah kiri.
Suara pagar yang bergesek nyaring merusak
keindahan soreku. Ah pagar sialan! Aku harus mencari tukang untuk membenahinya.
Tapi sosok yang baru saja masuk dapat dengan segera mengembalikan kebahagianku.
Zahira. Cucu pertamaku datang berkunjung.
Senyumnya yang memperlihatkan giginya yang putih, rambut hitam dan lebatnya
yang melambai lambai dibalik pundaknya. Aku seperti melihat bidadari yang
melintas di taman depan rumahku.
"eyang, kok masih di luar?" tanyanya.
"sorenya bagus, kemari nak..." kataku kepada cucuku. Zahira duduk di
sampingku, sambil membelai rambutnya "Kepiye mama sama papamu? Baik-baik
semua to?" "baik-baik kok yang, zahira mau nginep rumah eyang, kangen
sama eyang ndak apa apa kan yang?" katanya sambil mengeluarkan gorengan
"yo nggak apa-apa, sing suwe sisan, nemenin eyang" kataku sambil
menyeruput minuman hangat berwana hitam pekat di cangkir keramik bermotif
bunga-bunga di tanganku. "haha nanti yang kalo udah libur panjang, zahira
bobok di sini yang lama" katanya sambil menyenderkan kepalanya di
pundakku.
Hening.
Sambil merasakan hangatnya kopi yang menjalar ke
sela sela jemariku, menatap langit-langit, menerawang, seperti ada film yang
sedang diputar di atas sana. Senyum kecil muncul menghiasi wajahku yang sudah
dihiasi dengan kerutan-kerutan. Tak kusangka, waktu bisa memakan usia lebih
cepat dari yang aku bayangkan.
"eyang mau cerita Za" kataku memecah
keheningan sore itu. "cerita apa yang?". Tanya Zahira dengan wajah
penasarannya.
»»bersambung««
No comments:
Post a Comment