Dan kami sampai di titik ini
Saat akhirnya tubuh si ibu tumbang
Di atas kasur tua yang entah masih empuk ia rebahkan
tubuhnya
Ia tarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya
Ia pejamkan mata selagi ribuan memori seperti sedang
menghujani dirinya
Penuh. Sesak. Berdesakkan.
Ingin diraihnya. Satu saja.
Sayang, tak sampai.
Di sanalah ia terjebak dalam ruang bisu memori.
Si Bocah Kecil, Si Sulung, Si Bapak dan dirinya sendiri.
“Anakku….yatim?”
Lantas tertidur.
Lain lagi si bocah kecil
Di atas tanah lapang
Bermain berkejaran
Berlari ke sana ke mari
Mengejar matahari
Menangkap bayangan
Berhenti
Ia teriak. Menangis. Melempar semua yang ada di dekatnya.
Mata merah. Umpatan. Kejaran penuh dendam kepada teman
kecilnya
Satu penyebab. Satu kata. “YATIM!”
Lantas berlari ke pelukan Ibu.
Lalu apa kabar Si Sulung?
Duduk. Diam. Dengan headset terpasang.
Musik mengalun. Semesta berdendang
Ia tersenyum. Tertawa terbahak-bahak.
“Semua akan baik-baik saja” Kata makhluk kecil bersayap di
sebelah telinga kanannya.
“Optimis dan Sinting itu beda tipis!” kata makhluk bertanduk
di sebelah telinga kirinya.
Dia tidak menangis.
Dia tidak mau dan tidak sudi bersedih untuk hal-hal kecil.
Bukan karena dia tidak tau bagaimana caranya.
Ada semacam parameter di otaknya.
Yang tersedih adalah tentang kehilangan.
Yang tersedih adalah saat kau tak lagi bisa lihatnya
Tertawa, tersenyum, bahkan sampai memarahimu.
“AH YATIM!”
Lantas pergi.
No comments:
Post a Comment