Saya bukan
seorang penggemar program-program di televisi, bukan penikmat sinetron, atau
ftv-ftv. Tapi semenjak libur sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan,
hampir setiap pagi saya pasti menonton televisi, kenyataan ini diperparah
dengan rusaknya Sang Laptop yang membuat saya tidak punya pilihan lain selain,
menonton televisi.
Pagi ini, seperti
biasa saya bangun tidur dan langsung bergegas ke dapur, melakukan ritual pagi—minum 2 gelas air mineral setelah bangun tidur, membuat secangkir kopi hitam dan menyalakan
televisi di ruang keluarga. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB, mata
saya terpaku pada layar televisi dengan satu tangan kanan yang memegang cangkir
kopi dan tangan yang lainnya memegang remote dan dengan lihai mencari stasiun
televisi yang programnya ‘memungkinkan’ untuk saya tonton.
Sempurna. Semua
stasiun televisi sedang menyiarkan commercial break. Akhirnya pilihan saya
jatuhkan ke salah satu stasiun televisi swasta, yang sedang memulai sebuah
iklan. Sepertinya iklan baru, karena potongan-potongan scene-nya yang masih anyar
di mata saya.
Tokoh-tokoh yang
dimainkan dalam iklan ini teryata adalah anak-anak kecil, dan tibalah saat satu
per satu dari mereka mulai memainkan perannya. Setiap anak bicara sebanyak satu
kalimat yang masing-dan begini dialognya;
“Kalo aku udah
gede, aku mau jadi ex-mud”
“Mau jadi boss”
“Sehari-hari
ngomong camur bahasa Inggris”
“Tiap Jumat
pulang kantor, nongkrong sama sesama ex-mud, ngomongin proyek besar, biar
keliatan sukses”
“Suaranya agak
digedein, biar kedengeran cewek di meja sebelah”
“Kalo weekend
sarapan di cafe sambil laptopan”
“Pesen kopi
secangkir 40ribuan...”
“...minumnya
pelan-pelan, biar tahan sampai siang demi wi-fi gratis”
“Kalo tanggal tua
pagi, siang, malam, makannya mie instan”
“Kalo mau nelpon
bisanya Cuma misscall”
“Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah ngejalanin”
Sederhana,
berharga namun sering dilupakan. Itu kesan pertama setelah saya mendengar
dialog yang ada dalam iklan ini. Siapapun orang dibalik iklan ini, dia adalah
orang yang cerdas, menggunakan anak-anak—sosok yang masih polos dan frontal
dalam mencerna dunia, sebagai pemain lakon.
Ada lagi yang
menyentil saya diawal dialog, yaitu saat dua anak kecil yang menceritakan
cita-cita mereka, yang satu ingin menjadi Executive Muda sedang yang lainnya
ingin menjadi Boss. Saya teringat tweet saya sekitar 4 hari yang lalu,
Sepolos itulah seorang anak kecil sehingga mereka tinggal menyebutkan saja seperti apa mereka ingin menjadi saat sudah besar nanti. Mereka gantungkan saja mimpi mereka di langit tertinggi, untuk apa peduli rasanya sakit jika nanti jatuh, apa itu prospek, apa itu gaji, apa itu realistis, mereka memang belum mengerti, tapi hebatnya seorang anak kecil adalah mereka berani bermimpi tinggi sekali hingga menembus lapisan eksosfer, sedangkan kita para orang dewasa, sepertinya selain dituakan oleh waktu, waktu juga sudah berhasil memagari angan-angan besar, mimpi-mimpi tinggi dan menaruh kita di semacam tempurung sampai akhir nyawa terlepas dari raga dengan mimpi yang akhirnya tak sempat melambung ke angkasa.
Bermimpilah seperti anak kecil, dan bertindaklah seperti seorang laki-laki.
No comments:
Post a Comment