Za datang
menghampiriku, melampirkan sweater berwarna merah ati di pundakku. “Dingin,
Yang.” Katanya. Aku hanya tersenyum lembut, mataku terus mengamati langit dan
isinya. Tapi mata Zahira terus tertuju pada cangkir yang ada dalam genggamanku.
Aku tau apa yang ia amati, tapi aku memilih diam, menanti sepatah kata keluar
dari mulut mungilnya.
“Eyang, kenapa
Eyang masih minum kopi aja sih? Nggak baik loh, Yang...” Kata Za dengan tatapan penuh selidik. Aku
hanya membalasnya dengan senyum dan menyeruput lagi kopi yang tersisa. “Setiap
manusia punya hal yang membuat mereka tidak menjadi sekedar seonggok daging
yang bisa bernafas. Tapi, hidup Za. Hidup tidak dinilai dari berapa lama kamu
bernafas, hidup adalah saat kamu bisa merasakan rasa dari bernafas itu sendiri.
Untuk Eyang, kopi itu salah satu cara untuk merasakan hidup.” “Tapi kan kopi
nggak baik, Yang untuk kesehatan...” Kata Za, wajahnya berubah memelas. Kali
ini aku diam, tersenyum lagi, menghirup dinginnya udara malam, membiarkannya
masuk ke dalam relung-relung di paru-paruku, nikmatnya punya seseorang yang
bisa diajak biacara, bukan hanya teman-teman dari dunia bernama imajinasi
seperti hari-hari biasanya. Aku biarkan
keheningan masuk ke ruang kosong di antara kami. “Yang? Eyang ngantuk?” Tanya
Za sambil menepuk pundakku. “Nggak, Za. Soal kesehatan itu mitos. Kalau ini
kamu sehat,” sambil menunjuk bagian dada dan kepala,”badanmu juga pasti sehat.”
Lagi, aku menyesap kopi yang masih tersisa. “Karena sering sekali, Eyang dengar
kopi di kambing hitamkan sebagai penyebab dari berbagai penyakit, padahal yang
sebenarnya sakit dari orang-orang itu adalah hati dan otaknya. Lihat saja Eyang
masih sehat bugar begini.” Kataku sambil meniru pose binaragawan.
“Tapi Za nggak
suka kopi, Yang.” Kata Za, matanya masih terpaku pada cangkir di genggaman
tanganku. Tanganku membelai rambut hitam panjangnya, “Apa Eyang meminta kamu
untuk menyukai kopi seperti Eyang menyukai ini?” Kataku menjentikan cangkir
kopi di tanganku sambil tertawa, kala itu langit seakan ikut tertawa melihat
keluguan Za. “Tidak, Nduk. Cari, kejar dan nikmati apa yang membuatmu hiidup.
Jangan jadi seonggok daging yang bisa bernafas tapi tak tau apa itu rasanya
hidup.”
Malam ini terasa
lengkap, gemerlap bintang-bintang, bulan yang bersinar makin terang, angin
malam yang berdesir lembut dan senyuman dari Za yang akan terus kuingat.
Setelah 40 tahun lamanya, akhirnya aku
kembali merasa di rumah.
No comments:
Post a Comment