Waktu saya sedang online di salah satu jejaring sosial, tidak sengaja melihat tweetnya Mas Pandji yang berbunyi,
Dan tweetnya Mas Pandji yang itu berhasil membawa saya ke waktu saat saya masih duduk di bangku kelas 8 SMP. Saat itu, saya duduk dengan salah satu teman perempuan saya, Amira. Seorang anak perempuan keturunan Arab yang tergila-gila dengan buku. Awalnya, dia memang suka membawa novel-novel yang sedang ia baca di rumah, ke sekolah. Untuk mengisi waktu senggang, katanya. Pada awalnya, saya selalu berpikir, Apa yang orang lakukan dengan buku di tangannya dan menatapnya sampai berjam-jam? Bukankah Ada komputer yang lebih seru dengan berbagai fasilitasnya,dll. Namun, saya selalu menangkap gerak gerik Amira saat ia sedang membaca buku, entah tiba-tiba mengikik sendiri atau memukul meja sendiri atau bahkan menangis saat dia membaca novel-novel itu. Dan lagi, saat ia sedang mengobroldengan teman-temannya, dia seringkali menyangkut pautkan apa yang ada di novel dengan apa yang ada di kehidupan nyata.
B :Iya lagian blablablablablablabla
A: Haha... kayak.........
B: Hah? Itu siapa Mir?
A: Hehehe di novel blablabla
Nah, mulai saat itu, saya penasaran dengan buku-buku bacaan Amira. Maksud saya, sehebat itu kah dampak novel? Samai membuat kita lupa akan pemisahan antara dunia nyata dan dunia imajinasi di dalam novel. Saya mulai ikut membaca novel yang Amira bawa ke sekolah, walau hanya bab satu atau bahkan dua bab atau parahnya hanya membaca sinopsisnya saja. Tapi, tidak bisa saya pungkiri, bahwa dari situlah saya mendapat bibit-bibit "suka membaca". Seiring dengan berjalannya waktu, saya jadi makin menyukai "kegiatan membaca" ini, sensasi-sensasi yang saya dapat saat ada sesuatu yang terjadi dengan salah satu karakter sukses selalu membuat saya merasa ketagihan untuk terus membaca, berpetualang dari suatu cerita ke cerita lain.
Saya memang belum membaca banyak buku. Hanya beberapa dengan genre tertentu. Pengetahuan saya tentang buku yang bagus dan buku yang standar juga sangat minim. Saya hanyalah orang awam di dunia kesusastraan, baik dalam penulisan maupun pengapresiasian. Namun, hal itu tidak sedikit pun pernah mengecilkan semangat saya untuk terus membaca.
Belakangan saya berpikir, membaca memang penting untuk setiap orang, terutama anak-anak. Saya cukup perihatin dengan kondisi anak Indonesia yang kurang menyukai membaca. Hal ini ikut dipengaruhi dengan pemberian cap terhadap kata "membaca" yang selalu dikaitkan dengan kata "membosankan". Hal inilah yang membuat orang-orang semakin malas membaca. Maka jadilah gelar yang didapat bangsa Indonesia, yakni, "bangsa yang tidak membudayakan membaca secara efektif" semakin kental dan lekat dalam diri kita.
Di sini, orang tua bertanggung jawab penuh kepada anak untuk meberikan pendidikan dan membangkitkan minat membaca saat anak-anak masih berada di tahap di mana ia masih mendapatkan sosialisasi primer secara intensif. Sehingga, saat anak harus terjun ke bangku sekolah, si anak tidak akan merasa kehilangan motivasi untuk belajar saat ia menemukan dirinya tidak bisa atau malas membaca. Saya jadi ingat beberapa keluhan teman-teman saya saat mereka harus dihadapkan dengan beberapa buku yang harus dibaca, "Yaampun tebel banget sih ini" atau "Aduuh terserah deh, males banget baca" adalah beberapa penginapan gratis bagi semua orang. Atau beberapa juga ditemukan opini "Berapa lembar nih.... Wah ini buku tertebel sepanjang sejarah gue baca buku"; Padahal bukunya cuma setebel buku Ciamik Matematika. Kejadian tadi juga merupakan salah satu bukti bahwa minat baca di Indonesia itu memang mutlak minim.
Nah, sekali lagi, peran orang tua baik di rumah maupun di sekolah itu juga harus sinkron dalam mendidik si anak, dan jangan lupa, buat anak-anak berpikir bahwa "membaca itu tidak ada hubungannya dengan segala hal yang membosankan."
Oh iya, hampir lupa, membaca itu efeknya juga bisa lebih dalam ketimbang kita hanya menonton. Karena, dalam membaca, setiap orang dibiarkan untuk membangun sendiri dunia imajnasinya dengan plot yang telah ditentukann oleh si penulis. Nah, poin inilah yang merangsang otak kanan anak untuk lebih kreatif dan imajinatif. Bahkan slah satu guruku bilang, dia nggak akan pernah mau yang namanya nonton film Ayat-Ayat Cinta yang sampai membuat Presiden nangis nontonnya. Alasannya, sesederhana ini: "Saya takut....imajinasi saya tentang novel ini aka buyar ketika saya nonton filmnya."
So, Are you ready to Read?
No comments:
Post a Comment