Friday, January 15, 2016

"Menyederhanakan" Bahagia

Perasaan bahagia itu seperti
Satu yang ditambah satu
Tapi hasilnya tak selalu dua
-Mama

Saya sebenarnya menginginkan hujan deras untuk turun malam ini juga, saat ini juga. Mengguyur kota Jakarta dan sekitarnya, walau saat ini saya tidak sedang berada di Jakarta, tetapi di “sekitarnya”. Apa daya saat hati menginginkan kesyahduan hujan, bolehlah wangi tanah yang basah, dan segelas teh panas−saya suka kopi, tapi saat ini saya sedang ingin teh panas. Apa daya Gusti lebih punya setting cerita yang berbeda, tak diturunkanNya hujan, tak ada pula wangi tanah basah. Jadilah ekspektasi sayup-sayup suara lebatnya hujan digantikan dengan suara kipas angin yang dibeli ibu dari Abang Rosok,[1] masih bagus kok, buktinya masih bertahan 3 tahun. Agar tak mengurangi realita dari ekspektasi saya setel itu I Won’t Give Up yang dinyanyikan lagi oleh Madilyn Bailey−bukan karena nginggris atau keminter, tapi memang pengen. dan tetap, satu mug berisikan teh panas.

Apa sih bahagia menurutmu?

“Ih absurd banget sih, nanyain kayak ginian.” Tapi, pertanyaan ini terus-menerus mengganggu di otak karena belum pernah saya jawab. Ya, walau lewat post ini saya juga nggak tahu apakah bisa menjawab pertanyaan yang lebih sulit dari soal UTS saya.

Baik, mari kita mulai.

Sebelum kemudian bertanya tentang apa definisi bahagia, ada baiknya kita menentukan dulu apa tujuan hidup kita. Dengan rata-rata umur mencapai 63 tahun hidup di bumi, kira-kira apa atau mau ke mana tujuan akhirnya? Kalau mengingat pepatah jawa, urip gur mampir ngombe, atau hidup hanya mampir minum, setelah minum kita mau ngapain? Mau ke mana? Apa yang dicari to setelah minum itu?

Sejenak saya jadi melihat lagi sudah sejauh apa saya melangkah. Mulai dari rutinitas saya, yang tidur-kuliah-makan-“ke belakang”- lalu tidur lagi, ibadah, organisasi yang saya ikuti, tulisan-tulisan saya, sampai ke dengan siapa selama ini saya berjalan−jangan baper, yang ini maksdunya teman-teman saya. Sudah sinergiskah? Sudahkah itu semua merepresentasi tujuan saya diciptakan olehNya atau paling tidak merepresentasikan orang yang sedang mengetik pos ini sambil sesekali menyeruput teh hangat yang hampir dingin? Jangan sampai sudah jalan jauh ternyata selama ini saya meminjam sepatu orang untuk melangkah,  artinya, tidak benar-benar menjadi diri saya sendiri dalam menjalani jalanan yang mungkin masih panjang, atau pendek wallahualam, karena maut kan kapan saja bisa menjemput. Ada sebuah kutipan dari Cak Nun yang sangat saya sukai, begini bunyinya,

“Terserah mau jadi apa. Mau jadi manusia keset sabut, di mana hidup sekali ini diisi dengan menjadi keset kaki untuk sepatu orang. Atau jadi manusia rumput, hobinya diinjak-injak melulu. Atau manusia debog, yang kalau tidak dibuang yang dipakai ndalang, ditusuk-tusuk oleh tangkai lancip wayang. Atau mau jadi manusia beringin? Dia mengayomi walau ia sendiri tak berbuah, meneduhkan walau pada akhirnya tak ada yang bisa tumbuh di bawahnya atau di sekitarnya, berorientasi pada kebesaran diri, keharuman nama, monumentalisasi eksistensi, egosentrisme tinggi dan cenderung memperlakukan apa saja sekedar alat bagi eksistensinya.” ( Emha Ainun Nadjib dalam Gelandangan di kampung Sendiri).

Paragraf ini membuat saya berpikir tentang sudahkah saya memberi kebermanfaatan kepada masyarakat atau paling tidak untuk keluarga saya saja? Dengan mengikuti A-Z apa yang sebetulnya saya kejar? Apakah sebuah plakat atau titel tertentu atau memang semangat membagikan kebermanfaatan? Pertanyaan kepada dalam diri yang seperti sungguh menohok pada awalnya, tapi selanjutnya semoga Allah memantapkan hati ini untuk terus berada di jalan bersama masyarakat. Memang, mau jadi apa kita, rumput teki, atau debog, sabut atau Anthorium seperti yang pernah digandrungi oleh kalangan ibu atau bapak pecinta tanaman, yang penting adalah sejauh apa kita memberikan kebermanfaatan pada setidaknya lingkungan yang paling-paling-paling dekat dengan kita, keluarga.

Tapi tak hanya sampai di sana, niat kebermanfaatan untuk masyarakat saja  juga tidak cukup untuk melanjutkan perjalanan ke titik akhir setelah minum tadi. Ini bagian yang terpenting dari perjalanan yang diselingi dengan minum itu. Tanpa ini, kita bisa-bisa keasikan minum sampai kembung, sampai mati digelonggong tangan sendiri. Apa sih “ini” yang saya maksud? Ridho Allah.

Ridho Allah yang akan membuat kita melanjutkan perjalanan. Ridho Allah yang membuat kita sadar bahwa setidaknya kita memiliki waktu kurang lebih 63 tahun−syukur kalau dikasih lebih, untuk beribadah dan bermanfaat bagi umat manusia. Ridho Allah juga yang mengingatkan kita untuk tidak berlama-lama minum, karena berjalan apalagi berlari dengan perut yang kembung itu menyesakkan. Ridho Allah yang membuat kita berusaha sekaligus pasrah akan apa yang terjadi. Nah jadi Urip yang cuma mampir Ngombe ini, nanti mau dibawa ke mana? Mencari Ridho Allah.

Lalu, apa itu bahagia?

Ah ini pertanyaan memang bikin blunder. Saya sendiri heran, semakin kita tumbuh, semakin kita persulit arti kebahagiaan. Mulai dari menambah indikatornya, kemudian muncullah kalimat “wah bahagia banget lah kalo ...” seakan bahagia itu ada syaratnya. Bahagia kita hari ini sudah tidak lagi sesederhana dulu waktu umur kita 5 tahun, di mana kita berlari mengejar pesawat kertas yang kita buat sendiri, yang tadi terbang dan sudah terjatuh di tanah, kemudian menerbangkannya lagi. Ya, tidak bisa disalahkan sih, sekarang pun anak kecil sudah jarang yang bermain pesawat kertas yang biasanya dikasih abab dulu−semacam mantra biar terbangnya tinggi. Nggak kebayang saya, kalau yang dilempar itu Tab berisi game-game yang membuat mereka terpaku 24/7 minus waktu tidur, mandi dan “ke belakang”.

Kakak saya sering mengatakan “Jangan lupa bahagia”. Pada awalnya saya selalu mengartikan, jangan lupa bahagia berarti kita tidak boleh bersedih. Begitu terus sampai akhirnya ia membuat sebuah pos di lamannya. Tentang esensi bahagia. Hati tak pernah membohongi diri, katanya. Sudah kodrat hati ingin selalu dekat dengan Rabbnya. Itulah, saat di mana kebahagiaan yang haqiqi muncul. Karena, jangan lupa bahagia berarti jangan lupa mengingat Allah, ya. agar kita bahagia dengan mengingatNya.

Nggak perlu kan mainan pesawat-pesawatan dulu biar ngerasain jadi anak-anak baru ngerasa bahagia?

Ternyata memang, sederhana inginnya hati kita ini. Tak muluk-muluk ingin A sampai Z untuk membahagiakan hati, cukup satu, mendekat dengan Rabb, agar hati tenang, dan bahagia itu akan terasa dengan sendirinya. Kalau tak bisa juga membayangkannya, lihat saja anak kecil, apa banyak maunya? Tidak. Kadang bahagianya anak kecil adalah saat kita tak lupa nama mereka saat kita datang mengunjungi mereka. Bahagia mereka juga terkadang hanya disebabkan kita mau diajak mendengarkan lagu anak-anak yang sudah diputar ribuan kali. Tanpa maksud menyederhanakan arti kebahagiam tetapi, bahagia itu memang sederhana.

Kalau masih bingung dengan pos ini, mungkin kebahagiaan kita punya versi yang berbeda, saatnya cari bahagia versi kamu.





[1] Abang penjual barang-barang bekas.




Jangan lupa bahagia,




4 comments:

  1. Menurut saya, semakin ada kemajuan teknologi semakin sulit meraih kebahagiaan. Dulu kita bisa bermain layang-layang dengan bebas, tetapi sekarang? semua sudah pada fokus dengan smartphonenya. Bahkan anak yang berumur sekitar 6-8 tahun sudah dapat mengoperasikan sebuah tablet. Dulu setelah pulang sekolah kita dapat berkumpul bersama teman-teman, tetapi sekarang? ada yang main Playstation, smartphone dll.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kayak kebahagiaan setiap orang yang nggak bisa disamakan, mungkin itu juga berlaku untuk setiap jaman ya? :'')

      terima kasih udah mampir

      Delete
  2. Hai Anindya. Masih ingat ini "Mbak, setiap tulisan itu pasti akan bertemu pembacanya". Selalu suka jika dipertemukan dengan tulisan-tulisan Anin tentunya. Tetap nulis, tetap asik, tetap bahagia :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Mbak Titis, salah satu sumber inspirasi dari tulisan atau yang bisa lebih disebut sebagai curhatan Anin :))

      Delete